Karya : Sella Mulya Andika
Banyak
rintangan demi rintangan yang ditempuhnya. Wajahnya mulai sayu. Hanya kebesaran
hatinya yang masih terpancar jelas di wajahnya. Separuh usia yang ia lewati
bersama anak semata wayangnya dalam mengarungi bahtera kehidupan yang entah
sampai kapan ia lalui berdua. Ia adalah sosok single parent yang menghidupi seorang diri kebutuhan rumah
tangganya. Semenjak dirinya ditinggal pergi oleh sang suami, kehidupannya mulai
berubah. Bukan karena kematian yang memisahkan sosoknya dengan suami tercinta,
melainkan kenyataan pahit yang menyelimuti keluarganya, terlebih lagi sang
suami sudah menikah lagi dengan seorang wanita yang tak lain adalah teman
dekatnya sendiri. Ini sebuah realita kehidupan yang ia alami saat ini. Sebuah
kenyataan pahit yang harus ia derita dengan anaknya. Beban berat kehidupan
harus ia tanggung sendiri demi membesarkan anaknya. Tidak mudah menjadi wanita single parent seperti dia. Caci maki
dari sanak saudara yang ia terima setiap hari adalah sebuah kenyataan yang
harus ia terima. Namun, sosoknya tak pantang menyerah, sosoknya begitu kuat
menghadapi semua cobaan yang ia dapat.
“Ibu,
apa kau tak sudi menikah lagi?” tanya Tiara, anak semata wayangnya.
“Tidak,
Nak, ibumu sudah separuh usia mengasuhmu dan mendidikmu. Tidak mungkin ibu ini
menikah lagi. Lagi pula mana adalaki-laki yang mau menikahi ibumu seperti ini.”
“Mungkin
masih ada, Bu, setauku seorang guru disekolahan Tiara masih ada yang belum
menikah, Bu. Tiara bisa bantu mencarikan jodoh buat Ibu. Siapa tau dari
guru-guru Tiara ada yang berminat menjadikan Ibu seorang istri,” jelas Tiara
pada ibunya.
“Tidak,
Nak, ibu sudah memutuskan, kalau ibu tidak ingin menikah lagi. Walaupun ada
seseorang kaya dan baik hati apalagi gurumu melamar ibumu ini. Keputusan ibu
sudah bulat, Nak, jangan memaksa ataupun menanyakan ibu mau menikah lagi atau tidak.
Ibu sudah nyaman dengan status ibu yangsingle
parentini, Nak. Yang terpenting untuk saat ini adalah, bagaimana cara ibu
untuk bisa mendidikmu lebih baik lagi agar kamu bisa menjadi sosok wanita yang hebat,
bukan seperti ibumu ini, Nak,” kata sang ibu dengan penuh kepastian.
“Apa
mungkin Ibu masih mencintai Ayah? Ibu jangan bohong sama Tiara. Aku tau isi
hati Ibu saat ini. Ibu masih mencintai Ayah kan? Tolonglah, Bu, lupakan Ayah.
Buang jauh-jauh kenangan manis tentang Ayah. Tiara sudah lelah menunggu
kehadiran Ayah kembali ke kehidupan kita. Tiara sudah menganggap kalau Ayah itu
sudah mati, Bu.”
“Husst
. . jaga ucapanmu, Nak. Sejahat apapun Ayahmu terhadap kita, dia masih tetap
menjadi Ayahmu. Jangan kamu berpikiran negatif tentang Ayahmu. Ayah meninggalkan
ibu mungkin karena suatu sebab, Nak.”
“Sebab
apa, Bu? Sudah jelas Ayah meninggalkan Ibu demi orang lain. Bahkan Ayah menikah
lagi dengan sahabat, Ibu. Apa ini yang dinamakan sosok Ayah yang patut dianggap
pemimpin yang baik dalam keluarga? Ayah sudah menelantarkan Tiara dan Ibu. Ibu
menjadi susah juga karena Ayah. Seharusnya Ayah yang baik tidak menelantarkan
keluarganya seperti ini.”
“Sudah,
Nak, cukup. Jangan perdebatkan masalah ini lagi. Ibu sudah capek mendengar
ocehanmu yang terus menjelek-jelekkan sosok Ayahmu. Lebih baik kamu pikirkan
masa depanmu. Urusan keluarga biar ibu yang urus. Ibu masih kuat mengasuh dan
mendidikmu sendiri.”
Keputusan
yang ia ambil sudah bulat, kalau dirinya tidak ingin mencari sosok pendamping
hidupnya lagi. Sosok pendamping yang mampu menggantikan posisi mantan suaminya.
Baginya mengurus kehidupan keluarga masih sanggup ia jalani sendiri tanpa
seorang suami yang menjadi pemimpin keluarganya, yang mencarikan nafkah untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya bahkan ia sudah berjanji terhadap dirinya sendiri
kalau seberat apapun cobaan hidup yang ia lalui, ia tetap akan bertahan
sekalipun nyawa jadi taruhannya demi membesarkan anaknya. Apapun yang terjadi
ia akan terus berjuang. Hanya saja ia mempunyai kekhawatiran terhadap anaknya.
Kalau suatu saat ia gagal mengasuh dan mendidik anaknya seperti apa yang ia
harapkan. Karena tidak ada yang tau rencana Tuhan terhadap kehidupan anaknya.
Ia juga mempunyai rasa takut kalau nasibnya akan dialami kelak oleh anaknya.
Karena nasibnya ini juga pernah dialami oleh nenek Tiara yang juga menjadi
sosok single parent. Tidak tau ini
sebuah kutukan atau hanya sebuah nasib sama yang menimpanya. Namun yang jelas
cobaan seberat ini memang harus ia terima.
Ibu
masih saja menyembunyikan perasaannya, kalau Ibu masih belum bisa melupakan Ayah.
Padahal sudah jelas Ayah tega meninggalkan aku dan Ibu. Sosok Ayah yang aku
kenal saat ini bak orang asing yang belum pernah aku kenal sebelumnya. Ayah
yang dulunya baik sekarang tak kujumpaiwajahnya
lagi dan tak kudengar lagi kabar darinya. Sudah hampir 2 tahun ayah
meninggalkan keluarga ini, batinTiara dalam kamarnya.
Sosok
ayah yang sudah meninggalkan Tiara dengan ibunya, kini sudah bahagia dengan
orang lain. Sosok ayah yang menjadi panutan bagi keberhasilan hidup dari
kebanyakan anak tidak dirasakan lagi dalam benak Tiara. Baginya, ayahnya sudah
mati. Baginya, ayah adalah sosok laki-laki jahat yang telah menghancurkan
mimpi-mimpinya. Tiara sangat membenci sosok ayahnya itu. Tiara sudah tidak
peduli lagi dengan sosok ayah yang dulunya ia sayang yang kini baginya adalah
orang asing yang belum pernah ia kenal dalam hidupnya.
“Tiara,
bangun, Nak. Waktunya kamu berangkat sekolah. Kamu sudah siap-siap kan? Ibu menunggu
kamu di ruang makan,” panggil ibu pada Tiara untuk bersiap-siap berangkat ke
sekolah.
“Iya,
Bu, sebentar. Tiara masih memakai sepatu,” sahut Tiara dari kamar.
Setiap
pagi suasana rumah semacam ini hanya mereka lewati berdua. Makan berdua tanpa
sosok ayah ditengah-tengah keluarga.
“Oh
ya, Bu, biasanya kita kan sarapannya bertiga. Sekarang jadi sepi ya, Bu, tanpa
Ayah,” ucapan Tiara ini sengaja ia ucapkan untuk mengetahui bagaimana respon
ibunya terhadap apa yang ia sampaikan.
“Sudah,
Nak, katamu ibu harus melupakan sosok Ayahmu itu. Jujur ya Nak, ibu tidak bisa
membohongi perasaan ibu sendiri, kalau ibu masih sering memikirkan Ayahmu. Tapi
disamping itu, ibu masih ingat dengan kata-katamu kemarin, kalau ibu harus bisa
melupakan semua tentang Ayahmu. Ini semua ibu lakukan demi kamu, Nak,” ucap ibu
yang memastikan kalau apa yang disampaikan Tiara itu benar.
“Syukurlah
kalau Ibu menyadarinya. Bukannya Tiara memaksa keinganan Tiara untuk mengajak
Ibu melupakan Ayah. Tapi Tiara mempunyai maksud sendiri, Bu, kalau Ibu tidak
boleh lagi bersedih mengingat-ingat tentang Ayah. Ibu tau sendirikan? Kalau
Tiara tidak tega melihat Ibu terus-terusan bersedih. Aku takut kalau Ibu banyak
terbebani dengan status Ibu saat ini. Terlebih lagi Tiara takut, beban yang
diderita Ibu akan membawa petaka bagi Ibu.”
“Iya,
Nak, ibu mengerti betul apa maksudmu itu baik, Nak. Terima kasih ya, Nak. Hanya
Tiaralah anak ibu satu-satunya yang bisa menjadi obat penyemangat ibu untuk
bertahan menjalani hidup.”
“Sama-sama,
Bu. Baiklah Tiara berangkat dulu ya, Bu.”
“Iya,
Nak, hati-hati dijalan.”
***
Tiara
adalah murid SMA Harapan, sebuah sekolah terletak di kota kelahirannya,
Bandung. Tiara saat ini duduk di kelas 3. Tiara memang masih sangat muda. Ia
memiliki banyak prestasi yang ia dapat di sekolahanya. Prestasi yang terakhir
ia dapatkan adalah ia berhasil menjadi pemenang lombadesainbaju. Ini merupakan
suatu kebanggaan yang patut ia syukuri. Tiara memiliki hobi mendesain baju
karena ajaran yang ia peroleh dari ayahnya. Ia sangat ingat betul satu bulan
sebelum perceraian orangtuanya.
Ayahnya pernah membuat rancangan baju pesta ulang tahun Tiara yang ke-15 tahun.
Namun rancangan baju itu belum sempat ayahnya jahit menjadi gaun pesta. Berkat
rancangan baju itu, Tiara dapat menjadi juara karena desain baju yang ia
tampilkan di lomba itu adalah rancangan dari ayahnya yang ia sempurnakan
sendiri dengan ide-idenya yang pernah ia pelajari sebelumnya. Tiara sangat
bahagia dengan apa yang ia peroleh saat ini.
Terlintas
dibenak Tiara, berkat kejuaraannya ini, ia akan mencari sosok ayahnya itu.
Namun ia tidak tahu harus kemana mencari ayahnya. Satu tahun lebih ayahnya
tidak memberi kabar. Sudah tidak berkomunikasi lagi dengan Tiara bahkan dengan
ibunya.
“Ra,
selamat ya kamu memenangkan perlobaan itu,” ucap selamat dari Angga.
“Terima
kasih, Ngga. Ini juga berkat kamu dan Nadia yang selalu men-support aku. Kalau tidak ada dukungan
dari kalian, pasti aku tidak dapat juara ini.”
“Ahh
masak sih, Ra, setauku kamu pantas mendapatkan juara ini. Karena kamu mempunyai
bakat di bidang desain baju seperti ini,” ujar Nadia sembari mengucapkan
selamat pada Tiara.
“Ya
sudah untuk kemenangan Tiara, bagimana kalau kalian aku traktir makan di
kantin. Mau kan, Nad, Ra?” kata Angga.
“Mau
bangetlah aku. Aku sudah mulai lapar nih, Ngga. Iya kan, Ra?” kata Nadia sambil
menarik tangan Tiara.
Tiara
hanya terdiam. Tidak ada sepatah kata yang terucap di bibirnya. Disandarkan
tubuhnya di dinding depan kelas. Matanya memandangi langit-langit. Ada suatu
hal yang sedang dipikirkannya.
“Ra?
Tiara! Kamu sedang melamun apa sih?” kata Angga.
“Iya
nih, Tiara lagi ngelamunin siapa sih? Perasaan Tiara tidak lagi kasmaran deh, Ngga.”
“Maaf-maaf,
Nad. Aku tidak melamunin siapa-siapa kok. Aku sedang berpikir saja,” ucap Tiara
terkejut mendengar panggilan Nadia yang melenyapkan lamunannya.
“Halaaahh
jangan bohong, Ra. Kamu tadi jelas-jelas terdiam kayak melamunin sesuatu. Kalau
tidak kasmaran, terus kamu ngelamunin apa coba? Kamu punya masalah ya? Cerita
dong sama kita, siapa tau aku dan Angga bisa membantumu. Iya kan, Ngga?” ujar
Nadia sambil menyenggol tangan Angga.
“Oh
iya eh. . iya, Ra. Cerita dong sama kita. Jangan menyembunyikan sesuatu. Kalau
ada masalah cerita saja sama kita,” ujar Angga memastikan ucapan dari Nadia.
“Begini
lo. Sebenarnya aku lagi mikir-mikir gimana caranya aku bisa bertemu denganAyahku.
Sudah lama aku tidak menjumpai keberadaannya. Aku hanya ingin sekali saja
berjumpa dengannya untuk mengucapkan terima kasih atas kemenanganku dalam perlombaan
desain baju buatan Ayahku. Tapi aku bingung harus kemana aku mencarinya. Aku
dan Ibu sudah lama kehilangan komunikasi dengannya. Dan sebenarnya aku juga
merindukannya. Apa kalian bisa membantuku?” ucap Tiara.
“Ya
ampuuun masalah itu ya, Ra. Hmmm. . coba nanti aku pikirkan gimana caranya kita
bisa menemukan Ayahmu, Ra. Tapi untuk saat ini kita wajib makan dulu. Kita
butuh energi untuk berpikir juga kan?” kata Angga.
“Ha
ha ha benar itu katamu, Ngga. Ya sudah mari kita makan dulu!” ujar Nadia.
“Sebentar,
Nad. Sebenarnya aku pernah bilang pada Ibuku, kalau aku dan Ibuku harus bisa
melupakan Ayah. Tapi setelah aku mendapatkan juara itu, tiba-tiba terlintas di
pikiranku kalau aku harus menemui Ayah. Apa aku salah ya?” ucap Tiara.
“Pikiranmu
saat ini tidak salah, Ra. Mungkin ini petunjuk dari Tuhan untuk kamu dan
keluargamu untuk bisa bertemu kembali dengan Ayahmu. Tapi konsekuensinya harus
bisa kamu terima kalau Ayahmu tidak mau menemuhimu lagi, Ra,” kata Nadia.
“Baiklah
aku mengerti, Nad. Semoga saja aku bisa menemui Ayah walau hanya sebentar saja.
Yang terpenting aku bisa tau kabarnya saat ini. Dan tolong jangan bilang
keinginanku ini pada Ibuku.”
“Oke
siap, Ra. Ayo kita makan dulu!” ajak Angga kepada sahabatnya.
Nadia
dan Angga adalah sosok teman yang sangat dekat dengan Tiara. Mereka yang selalu
membantu Tiara kalau Tiara mengalami kesulitan. Mereka selalu ada bagi Tiara
disaat Tiara sedang membutuhkan teman untuk mencurahkan isi hati. Pertemanan
mereka cukup dibilang lama. Semenjak mereka masuk SMA Harapan, mereka mulai
berteman sampai saat ini. Setiap harinya mereka lalui bersama di sekolah. Tidak
hanya di sekolah saja mereka habiskan waktu bersama, melainkan waktu senggang,
biasa mereka lalui dengan jalan-jalan bersama.
“Ra,
aku mau curhat nih,” kata Nadia.
“Kamu
mau curhat apa, Nad?”
“Begini,
Ra. Akhir-akhir ini aku mulai suka sama seseorang. Dia sangat dekat denganku.”
“Hmmm.
. siapa, Nad? Ngomong-ngomong aku kenal sama dia apa enggak?”
“Kenal
banget lah. Dia adalah Angga, Ra,” ucap Nadia dengan senyum-senyum.
“Apa
kamu bilang? Kamu suka sama Angga? Kok bisa-bisanya kamu suka sama dia?” ucap
Tiara dengan penuh keseriusan.
“Aku
juga tidak tau, Nad. Tiba-tiba perasaan ini muncul begitu saja. Aku juga tidak
menyangka kalau aku bisa suka sama Angga.”
Detak
jantung Tiara seakan berhenti berdetak, setelah mendengar ucapan yang telah
disampaikan Nadia, kalau Nadia juga menyukai sosok Angga. Seakan hatinya remuk
mendengar kata-kata sahabatnya itu. Sosok Angga yang akrab dengannya merupakan
salah seorang yang lama ia sukai, semenjak ia duduk di kelas dua. Namun, ia
belum pernah mengungkapkan perasaannya itu kepada Nadia, bahkan kepada Angga
sendiri. Karena ia sadar, sosok Angga hanyalah sahabatnya. Baginya tidak
mungkin ia mencintai sahabatnya sendiri.
Setelah
tahu apa yang disampaikan Nadia. Tiara mencoba menampik perasaannya itu.
Perasaan kalau ia pernah menyukai sahabatnya sendiri. Ia harus bisa menjaga
sikap terhadap Nadia. Tiara mencoba mengikhlaskan apa yang pantas untuk
kebahagiaan sahabatnya itu. Ia juga berpikir kalau ia belum bisa mencintai
seseorang dengan sepenuhnya, karena trauma akan nasib yang diderita oleh
ibunya. Tiara pernah berpikiran, kalau semua laki-laki itu sama saja jahatnya
dengan ayahnya, yang dengan mudah meninggalkan orang yang pernah dicintainya.
Namun, ia tidak bisa berpikiran sama terhadap sosok Angga sahabatnya itu, yang
ia kenal sosok Angga adalah sahabat terbaiknya. Mana mungkin sosok Angga bisa
sejahat itu seperti ayahnya.
Semakin
canggung sikap Tiara pada Nadia setelah obrolan singkat mereka. Rasa sakit hati
bertambah jelas di raut wajah Tiara. Untuk menjaga perasaan sahabatnya, ia
mencoba menyembunyikan sakit hatinya. Entah sampai kapan ia sanggup melihat
kebahagiaan sahabatnya dengan orang yang disukai. Mungkin ini juga yang dialami
oleh ibunya. Menahan rasa sakit hati atas kepergian ayahnya. Yang sampai saat
ini tidak terdengar kabarnya dan tidak terlihat sosok ayahnya. Beban berat yang
diderita ibunya sangat jelas disetiap harinya. Mengasuh dan mendidiknya seorang
diri.
Sungguh
kuat hati Ibu. Sudah sekian banyak derita yang kau alami. Kau masih tetap
tersenyum, Bu. Kau mampu menyembunyikan sakit hatimu dengan senyuman yang
terpancar di raut wajahmu, batin Tiara pada sosok ibunya yang begitu keras
melewati semua cobaan yang dialami.
Kebesaran
hati seorang ibu Tiara, membuat Tiara sangat kagum akan tegarnya sosok ibunya. Banyak
rintangan hidup yang dilalui seorang diri membesarkan anak semata wayangnya.
Terlebih lagi beban hidup di masa kini cukup menguras tenaga wanita single parent ini. Kesehatan jasmani dan
rohani menjadi taruhannya. Dimana kondisi fisiknya yang mulai melemah.
***
“Bu,
Tiara pamit kerumah Nadia buat mengerjakan tugas kelompok,” ucap Tiara pada
ibunya.
“Uhuuk,
uhuuk . . . iya, Nak. Hati-hati dijalan, jangan pulang malam.”
“Loh
Ibu sedang sakit ya? Apa perlu Tiara membatalkan pergi ke rumah Nadia untuk
mengantarkan Ibu berobat dulu?” bujuk Tiara yang penuh kecemasan.
“Tidak
usah, Nak. Ibu baik-baik saja. Ibu hanya kecapekan doang. Sebentar lagi juga
reda batuknya.”
“Baiklah
kalau itu mau Ibu. Tiara berangkat dulu.”
Wajah
pucat terpancar jelas diraut wajah wanita separuh baya ini. Sehelai sapu tangan
digenggamnya untuk mengusap bibirsaat ia selesai batuk. Mata merah menandakan
kalau kondisi badannya saat ini sedang tidak sehat. Namun, ia tak menyimpulkan
tentang sakit yang dideritanya. Ia hanya berpikir kalau sakitnya itu cuma sakit
biasa yang disebabkan karena faktor kelelahan.
***
“Maaf,
Pak, Angganya ada dirumah?” ucap Tiara pada seorang satpam di rumah Angga.
“Sebentar
ya, Non, bapak panggilkan Den Angga. Nontunggu dulu di sini.”
“Baik,
Pak, terima kasih.”
Kedatangan
Tiara ke rumah Angga sebenarnya untuk rencana mereka mencari ayah Tiarayang
mana rencana ini sudah dibahas kemarin di sekolah. Keinginan Tiara yang bulat
itu membuat hatinya tidak sabar untuk berjumpa
dengan ayahnya. Rencana yang mereka buat adalah mencari ayah Tiara di rumah
teman dekat ibu Tiara yang tidak lain orang yang dinikahi ayahnya. Tiara
mendapatkan alamat teman ibunya dari buku telepon yang ada di kamar ibunya. Tiara
mencoba mengambil buku telepon itu secara sembunyi-sembunyi supaya tidak
ketahuan oleh ibunya. Tiara juga membawa selembar foto terakhir dari ayahnya
dan teman ibunya.
“Ehh,
Tiara. Kamu sudah siap kan untuk bertemu Ayah kamu?” ucap Angga yang
membangunkan lamunan Tiara saat itu.
“Oh
eh, iya, Ngga, aku sudah siap bertemu dengan Ayahku. Aku sudah membawa alamat
teman Ibuku. Dan Nadia udah sms aku, katanya kita ditunggu di tempat biasa.”
Langkah
kaki mereka seakan begitu semangat mencari sosok ayah yang sudah sekian lama
tidak dijumpai oleh Tiara. Hanya wajah yang samar-samar yang masih terlintas
diangan-angan Tiara. Namun, niat Tiara sangat kuat karena Tiara percaya bahwa
sosok ayahnya tidak berubah sama seperti gambar yang ada di foto itu.
“Hai,
Nad, kamu sudah lama ya menunggu kita?” ujar Angga.
“Enggak
kok, kurang lebih 10 menit aku disini. Ya sudah ayo kita berangkat mencari Ayah
Tiara! Lihat tuh wajah Tiara sudah begitu bersemangat ingin berjumpa dengan Ayah
tercinta. Hehehe.”
“Hehe.
. kalian bisa saja. Pasti lah aku bersemangat. Tadi malam saja aku tidak bisa
tidur, membayangkan aku bertemu dengan Ayah yang sudah lama aku rindukan. Coba kalian
jadi aku pasti akan merasakan hal yang sama sepertiku.”
“Aduuhh
maaf, Tiara, jangan ngomong seperti itu dong. Aku jadi sedih nih dengernya,”
ucap Angga.
“Iya
tidak apa-apa, Sobat. Kalian itu seharusnya bersyukur sama Tuhan, karena kalian
masih diberi kebahagiaan melihat senyuman kedua orang tua kalian. Kalian harus
bisa menjadi kebanggaan orang tua kalian. Mana ada sih anak yang mau
ditinggalkan seorang Ayah seperti aku saat ini. Yang hanya tinggal berdua
dengan seorang Ibu. Oleh karena itu sayangilah orang tua kalian,” ucap Tiara
memberi nasehat kepada kedua sahabatnya.
“Siap
boss,” sahut Angga dengan penuh semangat.
Di
sepanjang perjalanan mereka lalui dengan perbincangan-perbincangan yang membuat
hati Tiara sangat bahagia karena masih ada kedua sahabat yang sangat perhatian
dengannya. Selembar foto terus ia pandangi sembari ia membayangkan sosok ayah
yang dicintainya bisa ia jumpai saat itu. Namun, sia-sia sudah perjalanan lama
yang mereka tempuh. Alhasil rumah ayah dan teman ibu Tiara sudah pindah 1 tahun
yang lalu. Ini membuat hati Tiara sangat sedih dan kecewa. Keinginannya seakan
sirna sudah untuk ingin berjumpa dengan ayahnya. Air matanya terus membasahi pipinya.
“Maaf,
Dik, Bapak Hendrawan yang Adik cari sudah pindah dari rumah ini bersama
istrinya karena mau menyusul anaknya di luar kota,” ucap pemilik rumah yang
pernah ditinggali bapak Hendrawan yang tak lain adalah ayah Tiara.
“Ya
Tuhan. Harus kemana lagi aku mencari Ayahku. Aku sudah tidak punya petunjuk
lagi. Mana mungkin aku bertanya tentang keberadaan Ayah ke Ibu. Pasti Ibu tidak
memberitahuku. Atau mungkin Ibu juga tidak tau keberadaan Ayah saat ini,” rintih
Tiara yang menangis tiada henti-hentinya.
“Tenang,
Ra. Kita pasti bisa menemukan Ayahmu kok. Tenang saja. Untuk saat ini kita
pulang saja. Besok aku sama Nadia yang akan mencari informasi lebih lanjut
dimana keberadaan Ayahmu sekarang,” ujar Angga yang menenangkan hati Tiara.
***
Berbagai
cara mereka lakukan untuk mencari sosok ayah. Lima hari keliling kota Bandung
dan hasilnya belum menemukan juga.
“Eh,
Ra, aku seneng deh saat ini,” ucap Nadia yang senyum-senyum kegirangan.
“Hmmm.
. ada apa kamu senyum-senyum, Nad? Cerita dong sama aku.”
“Begini,
Ra, tadi malam aku ditembak sama Angga. Ya sebenarnya nembaknya lewat telepon
sih. Tapi sudah keren kan Ra?”
“Apa?
Angga menembakmu tadi malam? Terus kamu jawab apa? Kamu terima dia atau
enggak?” ucap Tiara yang berharap jawaban Nadia menolak Angga.
“Hmmm
gimana ya, Ra. . hmm ya aku terima lah. Sudah jelas orang yang aku sayang
nembak aku, masak enggak aku terima sih. Bodoh banget tau.”
“Ohh
gitu ya, Nad. Selamat ya. Semoga kamu langgeng. Semoga Angga adalah orang yang
tepat buatmu. Tapi jangan lupain sahabatmu ini ya, Nad. Kalau waktumu nanti
pasti banyak kamu luangkan dengan Angga kekasihmu,” ucap Tiara.
“Pasti
tidaklah, Ra. Kalaupun aku banyak keluar sama Angga, pasti aku tidak melupakanmu.
Pasti aku akan mengajakmu. Tapi kalau kamu mau sih jadi obat nyamukku sama
Angga hehe.”
“Hehe
no problem deh, Nad. Pokoknya
sahabatku bahagia aku juga ikutan bahagia deh.”
Ini
untuk kesekian kalinya Tiara menetaskan air matanya lagi. Meneteskan air mata
karena belum bisa menemukan ayahnya. Dan kini ditambah lagi dengan kabar kalau
sahabatnya sudah menjadi sepasang kekasih. Ini membuat hati Tiara sangat pilu.
Dan ingin Tiara berteriak sekeras-kerasnya untuk cobaan yang ia hadapi.
“Ya
Tuhan seberat inikah cobaan yang aku dapat dariMu? Haruskah aku menahan sakit
hati yang aku derita saat melihat sosok yang aku cintai kini menjadi milik
sahabatku sendiri? Aku sudah lelah Tuhan dengan semua cobaan ini. Masihkah aku
bertahan dengan kehidupanku yang sangat berat ini? Haruskah aku menjauhi
sahabatku agar aku tidak merasa sakit hati saat melihat canda tawa mereka? Ya
Tuhan, apa ini ujian berat yang Engkau berikan kepada keluargaku? Masihkah kurang
kau uji kesabaran aku dan Ibu atas kepergian ayah yang sampai saat ini belum
bisa aku jumpai? Terkutuk kah aku Tuhan? Huhuhu,” isak tangis Tiara dalam
rintahan kecilnya.
Hari-hari
Tiara seakan gelap dan suram. Dimana setiap hari melihat kebahagian yang
terpancar jelas di wajah kedua sahabatnya. Setiap hari menebar keromantisan di
depan Tiara. Tiara hanya bisa menahan dan menyembunyikan kesedihannya.
“Eh,
Ra, nanti kamu datang ya ke pesta ulang tahunku. Dan nanti kamu akan aku
kenalin sama Ayahku,” pinta Nadia.
“Iya,
Nad. Kalau tidak ada halangan aku pasti datang kok ke pestamu.”
Sudah
lama Nadia belum pernah memperkenalkan sosok ayahnya pada Tiara karena alasan
orang tuanya yang tinggal tidak serumah dengan Nadia. Nadia yang sampai saat
ini bertempat tinggal di rumah neneknya.
***
“Bu,
pilihkan gaun yang pas buat Tiara dong. Tiara mau menghadiri ulang tahun Nadia.
Tiara bingung nih mau pilih gaun yang mana,” pinta Tiara pada ibunya.
“Iya
sebentar, Nak, ibu masih cuci tangan.”
“Lohh
wajah Ibu pucat lagi. Ibu sebenarnya sakit apa sih? Apa Ibu sudah berobat ke
dokter?”
“Sudah
kok, Nak. Ibu hanya demam biasa. Kata dokter, ibu cuma kecapekan. Ibu hanya
disuruh istirahat untuk beberapa hari dan rutin minum obat.”
“Oh
gitu ya, Bu. Tiara sangat khawatir dengan kondisi Ibu saat ini, yang sering
kelihatan pucat. Kalau ada apa-apa Ibu cepat hubungi Tiara ya. Ibu harus jaga
kesehatan Ibu.”
“Iya,
Nak. Tenang saja. Hmmm ini gaun yang pas buat kamu pakai nanti malam di pesta
ulang tahun Nadia,” ucap ibu sambil menunjukkan gaun yang pernah menjadi kado
spesial dari ayah Tiara.
“Loh
ini kan gaun dari Ayah, Bu. Ibu kok masih menyimpannya. Tapi tidak apa-apa deh.
Gaunnya masih bagus dan cocok buat Tiara, Bu. Makasih ya, Bu.”
***
Malam
sudah datang. Tiba saatnya Tiara pergi ke pesta ulang tahun Nadia. Tidak lupa
Tiara membawa kado kesukaan Nadia, yaitu boneka hello kitty. Kado yang dianggapnya paling disukai Nadia.
“Selamat
ulang tahun Nadia Fitara yang ke-17. Semoga diusiamu yang bertambah ini, kamu
dan keluarga diberi kesehatan dan pastinya kamu diberi kesuksesan. Tidak lupa
semoga hubunganmu sama Angga tetap langgeng sampai kakek nenek,” ucap Tiara
pada Nadia sembari memberikan kado.
“Terima
kasih banyak, Ra, kamu sudah datang di pestaku. Dan terima kasih kadonya. Pasti
ini spesial buat aku. Hehe.”
“Iya
sama-sama, Nad.”
“Oh
iya, aku sampai lupa janjiku padamu, Ra. Ini aku kenalin kamu sama Ayahku.”
“Yah
ini Tiara sahabatku, yang pernah aku ceritain sama Ayah. Ini sahabat Nadia yang
jago mendesain baju sendiri lo. Cantik kan, Yah?” ucap Nadia pada ayahnya yang
kebetulan ayah Nadia begitu tidak asing di mata Tiara saat itu.
“Oh
i iya Nad, cantik sekali sahabatmu ini,” kata ayah Nadia yang kaget melihat
sosok Tiara di depannya.
“Oh
iya Om, terima kasih pujiannya,” jawab Tiara penuh tatapan ke sosok ayah Nadia
yang tidak asing lagi di matanya.
“Itu
Ayahmu ya, Nad? Itu benar Ayah kandungmu?” ucap Tiara penuh penasaran.
“Kok
kamu ngomongnya gitu sih, Ra? Aneh banget kayak lihat hantu aja.”
“Enggak
Nad, maaf. Aku kan tidak tau pasti tentang Ayahmu. Kan kamu barusan saja
ngenalin aku sama Ayahmu.”
“Hehe
iya enggak papa, Ra. Hmm. . sebenarnya itu Ayah tiri aku. 2 tahun yang lalu Ayah
kandungku meninggal. Dan setelah kepergian Ayahku, Ibuku menikah lagi dengan Ayah
tiriku itu.”
“Kok
kamu enggak pernah cerita sama aku sih, Nad. Tega bener kamu sama aku, bisa-bisanya
menyembunyikan sesuatu dari aku.”
“Ahh
enggak menyembunyikan sesuatukok, Ra. Aku tidak mau aja ada gosip-gosip tentang
keluarga baruku. Lagian aku sama orang tuaku tidak tinggal bersama. Ayah tiri
dan Ibuku kan tinggalnya di luar kota Bandung, Ra.”
“Oh
gitu,” ucap Tiara yang tidak henti-hentinya memandangi sosok ayah tiri Nadia
itu.
Ayah
tiri Nadia tidak asing lagi di mata Tiara. Sosoknya begitu akrab di mata Tiara.
Tiara sempat berpikir kalau wajah ayah tiri Nadia itu sama persis dengan wajah
ayahnya. Hanya saja penampilannya sedikit berbeda.
Mungkin
itu Ayahku? Tidak asing lagi sosoknya. Iya itu benar Ayahku. Tapi apa dia masih
ingat dengan aku anaknya, batin Tiara.
“Nak,
nama kamu benar Tiara ya?” ucap sang ayah tiri Nadia yang mencoba mendekati
Tiara.
Langkah kaki laki-laki itu terus diperhatikan oleh
mata Tiara. Dan membuat Tiara semakin yakin kalau laki-laki itu benar-benar
ayahnya.
“Eh
iya, Om. Saya Tiara teman dekat anak, Om. Tapi wajah Anda sepertinya tidak
asing lagi di mata Tiara. Kayaknya kita sudah pernah kenal sebelumnya. Apa Anda
masih ingat dengan wajah Tiara?” ujar Tiara yang mencoba meyakinkan situasi.
“Iya
benar kamu Tiara. Mari keluar sebentar. Ada hal yang harus aku bicarakan padamu.”
Tiara
dan laki-laki itu keluar dari keramaian pesta Nadia. Mereka berdua membicarakan
sesuatu hal yang penting. Yaitu pengakuan dari ayah tiri Nadia, kalau dirinya
adalah ayah kandung Tiara yang sudah lama Tiara tunggu kehadirannya. Dan kini
sudah ada di depan mata Tiara.
“Tiara,
maafin ayah. Sudah lama ayah mencari-cari kamu. Ayah sudah mencoba menghubungi
Ibumu tapi tidak ada jawaban sama kali dan pada akhirnya Ibumu telah mengganti
nomor barunya agar ayahmu ini tidak bisa menghubungi Ibumu. Mungkin Ibumu sudah
sangat membenci ayahmu ini. Maafin ayah, Nak.”
“Ayah
mengapa tega memperlakukan aku dan Ibu seperti ini? Sudah puaskan Ayah melihat
Tiara menemui Ayah dengan kenyataan sepahit ini. Dimana Ayah sekarang telah
menjadi Ayah tiri sahabat Tiara sendiri. Apa Ayah tidak berpikir betapa
sakitnya penderitaan yang sudah Tiara dapat? Dan apa Ayah tau sekarang Ibu
sedang sakit-sakitan dirumah?”
“Maafin
ayahmu ini, Nak. Ayah sudah mengaku bersalah sama kamu. Banyak kesalahan ayah
di masa lalu sama kamu dan Ibumu. Tapi ayah mohon beri ayah kesempatan untuk
melihat Ibumu. Jika Ibumu mau menerima ayah lagi, ayah akan bersedia kembali
lagi ke rumah dan kita mulai kehidupan baru mulai dari awal lagi. Tolong beri
ayah kesempatan untuk menebus semua kesalahan ayah.”
“Itu
tidak mungkin, Yah. Ayah sudah menjadi suami orang lain. Apa Ayah tega
melakukan hal yang sama terhadap keluarga Nadia? Membuat Ibunya Nadia menderita
seperti Ibu. Sudah cukup ayah melakukan hal yang salah kepada Tiara dan Ibu
saja. Kalau Ayah mau, Ayah bisa pulang sekarang sama aku.”
“Baiklah
kalau itu yang hanya bisa ayah lakukan.”
Kedatangan
ayah Tiara di kehidupan Tiara lagi merupakan titik akhir cobaan yang bakal
diterima Tiara lagi. Semua hal tentang ayah Tiara sudah disampaikan semua
kepada Nadia yang ternyata orang terpenting bagi Tiara. Nadia merasa menyesal
telah menyetujuhi pernikahan ibunya dengan laki-laki yang ternyata ayah dari
sahabatnya sendiri. Nadia merasa bersalah dengan Tiara.
“Ayah
aku ikut denganmu ke rumah Tiara. Aku juga akan minta maaf kepada IbunyaTiara.
Kalau kenyataannya kamu Ayah yang dinikahi oleh Ibuku, yang mana kamu ayah
sahabatku sendiri,” pinta Nadia.
Tiara
bersama Ayah dan Nadia menuju ke rumah Tiara untuk bertemu dengan ibu Tiara.
Namun, sesampai di rumah Tiara mereka mendapat kabar yang mengejutkan. Kalau
saat itu ibu Tiara sedang dilarikan ke rumah sakit karena muntah darah.
“Maaf, Non Tiara, Ibu sedang dibawa kerumah
sakit oleh tetangga sebelah,” kata bibi Tiara.
“Sejak
kapan, Bi? Kenapa Bibi tidak mengabari Tiara sebelumnya. Kan Tiara bisa pulang
dari tadi Bi.”
“Maaf,
Non, tadi Ibu melarang bibi untuk
menghubungi, NonTiara. Barusan saja Ibu
dibawa rumah sakit. Ibu tadi muntah darah. Coba, Non, sekarang menyusul saja ke rumah sakit Mulya Bandung.”
Seakan
Tiara ingin pingsan di tempat mendengar kabar kalau ibunya masuk rumah sakit.
Segera mereka menyusul ibu Tiara di rumah sakit yang jaraknya lumayan jauh dari
rumah Tiara.
***
“Bagaimana
keadaan Ibuku, Dok? Apakah Ibuku baik-baik saja?” ucap Tiara pada seorang
dokter yang keluar dari ruang Unit Gawat Darurat.
“Iya,
Dok, gimana kondisi istri saya? Istri saya sakit apa Dok?” sahut ayah Tiara
yang kebingungan.
“Maaf,
saya sudah berusaha sekuat tenaga untuk lekas menangani Ibu adek. Namun,
kehendak berkata lain. Ibu adek menghembuskan nafas terakhir di perjalanan
menuju rumah sakit ini.”
“Bohong.
. Dokter bohong. Dokter pasti salah menangani Ibuku. Tidak mungkin Ibu
meninggalkan Tiara secepat ini. Bisa dokter lihat Ibuku sekali lagi? Tolong, Dok!”
“Maaf
adek Tiara. Ibu kamu sudah tidak bisa tertolong,” jawab dokter dengan penuh
kepastian.
“Sabar,
Ra, sabar ini kehendak Tuhan untuk mengambil nyawa Ibumu. Ini sudah rencana
Tuhan karena tidak mau melihat penderitaan yang dialami Ibumu terus-terusan,”
sahut Nadia yang masih saja merasa bersalah.
“Iya,
Ra, kamu harus tabah menghadapi cobaan yang bertubi-tubi datang padamu dan
keluargamu,” ucap Angga menenangkan hati Tiara.
“Ini
semua salah Ayah. Kesalahan Ayah di masa lalu yang membuat Ibu menderita sampai
pada akhirnya Ibu meninggal seperti ini. Ayah jahat, Tiara sangat benci sama Ayah!”
teriak Tiara yang belum bisa menerima semua kenyataan yang ada.
“Iya
ayah yang salah, Nak. Tapi tolong maafin ayah dan beri kesempatan ayah untuk menebus
semua kesalahan ayah.”
“Ibu.
. kenapa Ibu meninggalkan Tiara sendiri. Ibu, Ayah sudah pulang, Ibu tolong
bangunlah. Ibu kenapa diam saja.”
“Sudah
Ra, Ibumu sudah tenang di alam sana. Kamu harus bisa menerima kenyataan ini.
Ini semua takdir Tuhan untuk keluargamu. Pasti ada hikmah dibalik semua ini,”
ucap Angga.
“Semoga
Ibu tenang di alam sana. Semoga Ibu tenang di surgaNya. Aku sayang Ibu. Aku
akan menjadi sosok Tiara yang tegar seperti Ibu.”
Perjalanan
wanita single parent ini berakhir
dengan kepedihan, dimana dia harus meninggalkan sosok gadis anak semata
wayangnya untuk selama-lamanya. Meninggalkan sejuta cerita dibenak Tiara
anaknya. Banyak pengorbanan sosok ibu di mata Tiara. Tuhan sudah menunjukkan
kebesarannya. Menguji setiap makhluk ciptaanNya dengan ujian seberat apa yang
mampu dijalani setiap ciptaanNya. Takdir yang membawa ibu Tiara ke tempat yang
jauh yaitu disisi Tuhan. Meninggalkan seberkas kisah pilu yang pernah dialami
ibu Tiara. Dan pada akhirnya Tiara harus menerima menjadi bagian keluarga dari
Nadia. Tiara mencoba mengikhlaskan kepergian ibunya dan mencoba menerima
kenyataan bahwa dirinya harus menjadi saudara sahabatnya sendiri. Karena takdir
berkata lain. Semua alur kehidupan hanya Tuhan yang menjalankanya.
##TAMAT##